Manusia belahan bumi mana yang tidak ingin hidupnya teratur? Sejak zaman Yunani Kuno, hidup teratur agaknya sudah menjadi kebutuhan. Pinginnya, manusia bisa mengatur manusia lain dan alam. “Dua hal itulah disadari atau tidak, yang menjadi sumber utama kesulitan hidup manusia”. Kata paham humanisme.
Maka, terciptalah alat yang namanya organisasi, untuk mengorganisir itu semua. Ide logis-sederhananya, yang penting punya ketua, sekretaris dan bendahara yang membuat aturan berjalan. Sekarang, ide organisasi sudah berkembang njlimet saking banyaknya hal yang menuntut keteraturan. Duh, jadi pusing.
Ya begitulah, bawah sadar manusia pingin hidupnya teratur, harmonis dan rukun, laiknya konsepsi homo homini socius milik Adam Smith. Sebagaimana kodrat manusia yang merupakan sahabat manusia lain. Jadi, tidak bisa tidak, akan selalu ada organisasi bahkan di lingkungan Sekolah Dasar sekalipun.
Kalau menyoal organisasi, barangkali kita sudah sadar betapa uniknya lalu-lintas sosial budaya yang dihasilkannya selama berabad-abad. Menjadi pelaku organisasi pun seolah adalah kebanggaan. Semakin menarik kalau kita melirik jalan yang orang-orang tempuh sebelum akhirnya bisa duduk menjadi sekretaris, bendahara atau simbol eksistensi tertinggi, ketua.
Saya tergelitik untuk kemudian melakukan observasi alakadarnya. Bagaimana sebenarnya pola, watak, perilaku serta modus-operandi untuk menjadi ketua sebuah organisasi. Observasi saya lakukan di salah satu Sekolah Dasar (SD) tempat saya tinggal dengan sudut pandang absurd-naif. Hasilnya, mungkin terjadi juga di lingkungan dan scoop lain, setingkat RT, Kecamatan, Karang Taruna, dan lainnya.
Modus Tebar Pesona
Modus ini sangat jamak dan paling mudah dilakukan, dengan berbagai medium. Dewasa ini, cara pragmatis sedang naik daun, sehingga akan lebih sering kita jumpai. Contoh; menyambangi orang terkena musibah, sok-sokan Dewa Penyelamat sambil dadah-dadah, intinya cari muka.
Di SD yang saya teliti, ada anak yang tebar pesona dengan meyakinkan, anggun dan kharismatik. Benar saja, ketika dilantik menjadi ketua kelas, dia dalam hemat saya, memang pantas berada di titik itu.
Anak manusia ini terbilang cukup revolusioner di kelasnya, sampai-sampai kelas lain menjadi minder dan takut-takut. Revolusinya terus-terusan, indeterminate future (meminjam bahasa Karl Mannheim). Saking revolusionernya, tau-tau kas kelas habis oleh kegiatan-kegiatannya, demi usahanya mendapat pengakuan kelas lain.
Modus Giliran
Modus ini dibagi dua tahap, sama-sama melibatkan kesepakatan kolektif. Yang membedakan adalah epistemologinya. Yaitu modus over legitimate dan modus konsensus. Anak-anak di SD yang saya teliti memang juga diajari bersikap demokratis sejak dini. Modus giliran yang pertama, over legitimate terjadi ketika di kelas itu ada seorang anak yang sekilas lebih menonjol dari anak lain, berbadan tegap, disiplin tinggi, secara postur cocok untuk jadi TNI.
Dia oleh legitimasi kuatnya, berhasil meyakinkan teman-temannya, serta ketua kelas yang lama untuk segera turun dan digantikan olehnya. Prestasinya selama menjadi ketua kelaspun terbilang gemilang. Pokoknya bintang kelaslah.
Seiring berjalannya waktu, prinsip demokrasi anak-anak ini juga semakin dewasa pula. Berbanding lurus dengan itu, modus dengan sistem konsensus kemudianlah yang melahirkan pemilu langsung, yang sebelumnya tidak pernah dilaksanakan serius.
Ya karena over legitimate tadi membuat modus konsensus kurang terbuka kemungkinannya untuk dijalankan. Over legitimate pula yang lama-lama membuat anak-anak satu kelas itu sesak nafas. Lagipula, anak SD mana yang mau ketua kelasnya tidak diganti selama 32 tahun. Lohh!!
Modua Disuruh Mama
Modus ini terjadi pada ketua kelas periode sekarang, di kelas yang saya teliti. Diawali dari salah satu mama dari anak di kelas terebut, yang sepanjang pengamatannya terhadap putranya di kelas ini selalu mendapat nilai bagus dan selalu topten. Kemudian hari mama ini menyarankan anaknya untuk mencalonkan diri menjadi ketua kelas pada pemilu periode mendatang. Sebenarnya sang anak sedang memiliki tanggungjawab sebagai humas di kelasnya. Anak itu terkesan menikmati tugasnya, mengambil spidol, membawakan buku, dan menghapus papan tulis.
Sayang hegemoni sang mama terlalu kuat. Que sera-sera, ikutlah si anak ini pada pemilu kelasnya. Ndilalah kersaning Allah, anak ini menang tipis. Banggalah sang mama. Saking bangganya, disetiap kegiatan keketuakelasan, sang mama ini pasti ikut.
Modus merasa terdzalimi
Hampir satu dasawarsa lalu ketika saya membuka lembar sejarah kelas ini. Modus ini sempat booming, karena ada seorang anak dikelas yang menjabat seksi keamanan, bersitegang hebat dengan ketua kelasnya. Perkaranya sepele khas anak SD, ketua kelas kelewat galau ketika dia dicueki oleh anak seksi keamanan ini.
Tapi si anak seksi keamanan ini cerdas, dia bisa memposisikan diri dihadapan teman sekelasnya bahwa dialah yang sedang didzalimi oleh ketua kelas. Merasa mendapat empati dan dukungan yang cukup dari teman-temannya, anak ini maju pemilu kelas untuk kemudian mengalahkan incumbent.
***
Itulah beberapa hasil observasi di sebuah SD daerah saya tinggal.
Saat ini saya masih dan akan terus meneliti tentang modus-modus anak-anak di SD ini untuk menjadi ketua. Akhir-akhir ini ada cerita menarik di SD itu, di kelas yang sama, sedang dihebohkan oleh seorang anak ceplas–ceplos yang entah kenapa, sedang dimusuhi oleh sebagian besar teman sekelasnya.
Parahnya, teman yang membenci mengejeknya dengan kelewat SARA, sangat rasis. Teman lain hanya bisa mengelus dada, sebagian kecil memberi semangat dan membela habis-habisan. Anehnya, anak ini seperti tidak terlalu memikirkan sambil tetap melakukan tugasnya mengambil spidol, membawa buku dan menghapus papan tulis.
Entah apa motif si anak ini, kenapa banyak nian yang memusuhi? Karena kelewat ceplas-ceploskah? Atau karena punya agama berbeda dan mata lebih sipit hingga teman-temannya menuduhnya sebagai “orang lain”? Terkait tugasnya sebagai humas kelaspun tak pernah luput dari cercaan sebagian temannya. Tuduhan “humas kafir” padanya pula, seolah semakin menyengatkan bau busuk ke permukaan.
Jangan-jangan anak ini punya hidden agenda, atau dia sudah belajar dari sejarah tahun 2004 lalu, ketika modus merasa terdzalimi sukses?
Yang mengganjal, kenapa tak kunjung bermanuver merasa didzalimi, kalau niatnya ingin jadi ketua kelas, seperti syak-wasangka saya terhadap anak ini? Atau dukungan teman-temannya secara akumulatif belum cukup untuk memenangkan pemilu, sehingga sampai sekarang sedang dan akan terus mencari empati teman-temannya, sampai tiba saat yang tepat sebelum pemilihan 2019 mendatang?
Sumber: mahasiswabicara.com
0 komentar :
Posting Komentar